Seiring berjalannya waktu dari perkembangan jaman ke jaman, mata
pelajaran pendidikan yang menjadi bahan dasar seseorang dalam pergaulan, bermasyarakat dan
bernegara haruslah menjadi acuan/prinsip, yang sangat masif sekali contohnya di
jaman ini, saat negara sedang berkembang banyak bermunculan sekelompok orang
yang tidak memahami dasar negara, yaitu PANCASILA yang menjadi satu mata
pelajaran, baik itu di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), Menengah atauppun kejuruan,
Berikut ini sedikit ulasan sejarah mengenai mata pelajaran PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN yang Ditulis oleh endryib pada Maret 7, 2011 in pendidikan kewarganegaraan, Sebagai mata
pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami
perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal
tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan
tentu saja disesuaikan dengan kepentingan negara. Secara historis,
epistemologis dan pedagogis.
Pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler
dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam
kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata
pelajaran Civics atau kewarganegaraan, pada
dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin
ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan
tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7).
Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan
Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably).
Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara
yang dipakai sebagai nama mata pelajaran.
Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan
Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945.
Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara
yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu
dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya
terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan
kemasyarakatan dan hak asasi manusia.
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah
menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi
Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang
diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata
pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran
PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975
(Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa
itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim
Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum
semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan
tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum
PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan
butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4
dan sumber resmi lainnya .
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini
karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge
dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya
yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan
pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang
beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai
pedoman dalam berprilaku sehari-hari.
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis
Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama
menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang
berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada
masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn
sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam
kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis
konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum
sebagai berikut :
(a) Kewarganegaraan (1956)
(b) Civics (1959)
(c) Kewarganegaraan (1962)
(d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e) Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan
(1994)
(g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20
Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas
ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat
pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format
pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut
tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk
pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format
buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum
banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua
jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan
sebagai socio-political institution, dan masih belum
efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum
adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan
dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
0 komentar:
Posting Komentar