24 Mar 2018

Materi: Identitas Nasional

Dilihat dari segi bahasa bahwa Indentitas itu berasal dari bahasa inggris yaitu “Indentity” yang dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda atau jatidiri. Ciri-ciri itu adalah suatu yang menandai suatu benda atau orang. Ada ciri-ciri fisik atau non fisik. Indentity sering diindonesiakan menjadi indentitas atau jatidiri. Indentitas atau jatidiri, dapat memiliki dua arti ; pertama, yang menunjuk pada ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang atau sebuah benda, kedua, indentitas dapat berupa keterangan yang dapat menjelaskan pribadi seseorang dan riwayat hidup. Indentitas atau jatidiri adalah “pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang yang termasuk dalan suatu golongan dilakukan berdasarkan atas serangkaian ciri-cirinya.
Menurut Hank Johnston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield. indentitas dibagi dalam dua bagian, yaitu: indentitas individu dan indentitas kolektif. Sebagaimana kita ketahui bahwa indentitas atau jatidiri itu ada dalam interaksi, maka dapatlah kita katakan bahwa jati diri itu diperlukan dalam interaksi. Sebuah interaksi mewujudkan adanya struktur dimana masing-masing pelaku yang terlibat didalamnya berada dalam suatu hubungan peranan. Di lain pihak dan pada waktu yang sama, corak peranan yang dijalankan oleh masing-masing pelaku tersebut tergantung pada corak atau macam struktur interaksi yang berlaku.
ATRIBUT INDENTITAS
Atribut adalah segala sesuatu yang tarseleksi, baik disengaja maupun tidak, yang berguna untuk mengenali indentitas atau jatidiri seseorang atau sesuatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan atau bahasa yang digunakan.
Corak indentitas seseorang itu ditentukan oleh atribut-atribut yang digunakan, yaitu supaya dilihat dan diakui oleh cirinya oleh para pelaku yang dihadapi dalam suatu interaksi, agar indentitas atau peranan seseorang tersebut diakui dan masuk akal bagi pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada indentitas yang tidak dapat diubah, walaupun dapat ditutupi untuk sementara, dan ada indentitas yang dapat dengan mudah diubah dengan cara memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah atribut yang diperlukan untuk tujuan tersebut.
Atribut-atribut diatur dan dimanipulasi oleh seorang pelaku lainnya dalam berhubungan dengan orang lain sesuai dengan yang dikehendakinya. Contohnya : seorang pengemis akan membuat dirinya sebagai seorang pengemis yang patut dikasihanni orang ramai yang akan menjadi pelaku-pelaku dalam interaksi dengannya sebagai pengemis.

PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL
Dunia tanpa batas, itulah yang terjadi sekarang. Dengan pesatnya kemajuan pada bidang information, communication, and technology (ICT) seluruh dunia “dipersatukan” dengan tidak mengenal batas ruang teritorial baik darat, udara maupun laut, bahkan tidka mengenal waktu. Akibatnya warga dunia dapat memiliki akses terhadap peristiwa yang terjadi di bagian belahan dunia manapun.
Ada banyak manfaat dengan menjadi masyarakat global, di antaranya akses informasi tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni lebih cepat. Bahkan bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia telah memperoleh manfaat dari kemajuan tersebut. Hampir semua kehidupan membutuhkan dan perlu dtunjang oleh teknologi. Namun demikan, globalisasi juga membawa dampak yang cujup serius, misalnya sering disalahgunakannya produk teknologi untuk kepentingan yang bertentangan dengna nilai-nilai kemanusiaan seperti merakit bom untuk pemberontakan maupun untuk kegiatan terorisme. Selain itu, globalisasi dapat mengikis budaya nasional.
Generasi muda dihadapkan pada apa yang disebut dengan global paradoks. Ada petentangan antara budaya lokal/nasional dengan budaya luar/asing, terutama budaya secara substansial bertentangan dengna ideologi, norma-norma serta believe system yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks inilah generasi muda perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan serta pemahaman tentang pentingnya menjaga identitas kultural bangsa. Tanpa upaya serius untuk mempertahankan identitas bangsa, tidaklah mustahil bangsa dan negara Indonesia akan kehilangan jatidiri sebagai bangsa.
Dalam pencaturan global, sebagaimana disinggung di atas, dalam ruang dunia tanpa batas, sulit untuk dapat membedakan identitas nasional. Bukan saja identitas nasional suatu bangsa dengan bangsa lainnya yang semakin membaur dan sulit dibedakan, bahkan identitas individu warganegara pun sekarang sulit dibedakan, misalnya seorang warga indonesia yang keturunan Arab dan Perancis dan beragama Kristen. Pada kasus ini, apakah ia akan mengaku sebagai bangsa Indonesia, Arab atau Perancis? Hal ini karena kepribadian, jatidiri antarbangsa menjadi berbaur. Hal ini dapat disebabkan karena faktor perkawinan antara negara bangsa bahkan perkawinan antarkeyakinan/agama.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Bangsa-bangsa maju mengembangkan identtas secara dinamis membawa nama bangsa tersebut, baik dalam khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi maupun seni. Oleh karena itu bangsa Indonesia yang juga dinamis dihadapkan pada berbagai persoalan, termasuk persoalan menurunnya kebanggaan terhadap bangsanya sendiri. Semangat kebangsaan, cinta tanah air menurun bahkan para pejabat negara yang seharusnya memahami Ideologi Negara Pancasila malah sibuk memperkaya diri, keluarga atau kelompoknya dengan menyalahgunakan jabatannya. Dengna demikian bangsa Indonesia perlu kembali memupuk kesadaran berbangsa dan tujuan hidup bangsanya dna berusaha untuk dapat mewujudkannya.
Sebagai sebuah istilah “Identitas Nasional” dibentk oleh dua kata, yaitu ‘identitas’ dan ‘nasonal’. Identitas dapat diartikan sebagai ciri, tanda, atau jatidiri; sedangkan nasional dalam konteks ini adalah kebangsaan. Dengan demikian, identitas nasional dapat diartikan sebagai “jatidiri Nasional” atau “kepribadian nasional” (Charmin, 2003: 209). Menurut Kaelan (2007: 43) istilah “Identintas Nasional” secara Terminologi adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Dalam konteks Indonesia, menurut Guneswara,dkk. (2007:27) Identitas Nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tmbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang “dihimpun” dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan roh “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai dasar dan arah pengembangannya.
Identitas bangsa yang satu dengan yang lainnya tentu saja berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan maupun geografi. Identitas nasional Indonesia terbentuk rakyat Indonesia memiliki pengalaman masing-masing daerah dalam menghadapi penjajah, timbulah perasaan senasib berhadapan dengan para penjajah. Perasaan senasib ini mendorong timbulnya kesadaran bahwa kita memang memiliki banyak perbedaan tetapi perbedaan ini tidak dapat menutup kenyataan bahwa kita memiliki kesamaan sejarah dalam melawan penjajah. Pengalaman sejarah inilah yang dapat menambahkan kesadaran kebangsaan kemudian melahirkan Identitas Nasional.

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KELAHIRAN IDENTITAS NASIONAL
Lahirnya Identitas Nasional suatu bangsa tidak dapat dilepas dari faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan geografis-ekologis dan demografis; dan faktor subyektif, yaitu faktor-faktor historis, sosial, politik dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu (Suryo dalam Chamim, 2003:210). Selain itu, menurut Surbakti (1999) faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa meliputi primordial, sakral, tokoh, Bhinneka Tunggal Ika, sejarah, perkemabangan ekonomi, dan kelembagaan. Pendapat lain dikemukakan Kaelan (2007: 49) bahwa identitas Nasional terbentu karena dua faktor, yaitu (i) faktor objektif seperti geografis, ekologis, dermografis, dan (ii) faktor subyektif ssperti historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Menurut Abidin, dkk.(2014: 154) lahirnya identitas nasioanl suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor objektif, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan geografis-ekologis, dan demografis serta faktor subyektif, yaitu faktor-faktor historis, politik, sosial dan kebudayaan yang dimiliki bangsa itu.
Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai daerah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antar wilayah dunia di Asia Tenggara ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis sosial, kultural bangsa Indonesia. Faktor penting lainnya yang mendorong tumbuhnya kesadaran kebangsaan di Indonesia adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Pencarian identitas Nasional Bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan masyarakat dan bangsa Indonesia untuk membangun konesp “Indonesia” sebagai atribut terbentuknya masyarakat dan bangsa yang baru Indonesia modern. Identitas nasional berkaitan erat dengan dimensi sosial, ekonomi maupun politik.
Menurut Abidin, dkk. (2014: 154) pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental serta memajukan adab dan kemampuan bangsa merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Berdasarkan pendapat Abidin tersebut, maka yang menjadi tugas pertama pemerintah adalah terus menerus membina dan mengembangkan kebudayaan nasional bangsa Indonesia agar senantiasa mewariskan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak akan tercerabut dari akat kebudayaan dan kepribadiannya ditengah-tengah globalisasi.
PANCASILA SEBAGAI KEPRIBADIAN DAN IDENTITAS NASIONAL
Sejak negeri ini diproklamasikan sebagai negara merdeka, kita telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, Pancasila harus terus hidup dalam kehidupan masyarakat, lebih optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua kelompok masyakarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul.
Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia, nilai-nilainya sudah ada sejak zaman dahulu. Adat istiadat, kebudayaan, religi dan praktek kehidupan lainnya yang sudah ada dan terpelihara dalam kehidupan sehari-hari di konkretisasikan ke dalam sila-sila Pancasila. Dengan demikian, causa materialis dari Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri melalui kebudayaan dan kepribadiannya. Pancasila digali dari bangsa Indonesia sendiri, bukan merupakan jiplakan dari bangsa lain atau hanya merupakan pemikiran perseorangan. Pancasila berbeda dengan ideologi lainnya seperti liberalisme yang hanya mengedepankan kebebasan kelimpok. Bangsa Indonesia memadukan dimensi manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. The founding father bangsa Indonesia menyadari akan pentingnya dasar filsafat negara yang dapat diletakkan dalam konsep bangsa yang berkembang menuju fase nasionalisme Modern.
Kenyataan bahwa Bangsa Indonesia merupakan negara yang majemuk dari berbagai hal, suku, agama, ras, golongan dan sebagainya memerlukan ideologi yang dapat menaungi dan melindungi semua komponen bangsanya. Pancasila hendaknya menjadi “katalis” dari berbagai perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia. Dalam konteks ini Pancasila sangat relevan dijadikan dasar negara dari pandangan hidup bangsa yang plural seperti Indonesia. Segenap komponen bangsa Indonesia harus mampu memahami dan menerima keberagaman dalam kebersamaan.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yait ketuhanan (Tuhan), kemanusiaan (manusia), persatuan (satu), kerakyatan (rakyat), serta keadilan (adil), secara historis sudah ada sejak zaman kerajaan terdahulu, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Banten, dan lainnya.
Dalam implementasinya pada praktek penyelenggaraan negara tidak sedikit sudah penyimpangan dair nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, seperti penafsiran yang kabur pada nilai-nilai Pancasila oleh para penyelenggara negara, dijadikannya Pancasila sebagai “kedok” kekuasaan untuk melegalisasi tindakan penguasa, dan euphoria demokrasi yang kebablasan. Perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik norma hukum, agama, kesopanan, dan norma lainnya bukan saja dilakukan oleh orang awam yang tidak berpendidikan, bahkan hal ini juga dilakukan oleh orang terdidik bahkan tidak sedikit pejabat publik yang terkena kasus asusila, korupsi, terungkap sedang mengonsumsi narkoba dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu upaya sadar dan terencana dari segenap komponen bangsa Indonesia untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai kepribadian dan identitas Nasional. Tanpa kemauan dan partisipasi seluruh komponen bangsa Indonesia, tidak mustahil Pancasila dan nila-nilainya lenyap digerus zaman; Pancasila hanya akan menjadi hafalan dan pajangan di kantor-kantor pemerintah tanpa makna.
a.      Ketuhanan Yang Maha Esa
Mengandung pengertian bahwa warga negara percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan dan ketakwaan ini bersifat aktif, sepenuh hati berusaha menjalankan segala Perintah-NYA menurut agamanya masing-masing.
b.     Kemanusiaan yang adil dan bearadab
Menunjuk pada identitas bangsa Indonesia akan sikap adil dan sikap beradab. Adil dalam hubungan kemanusiaan adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, terhadap sesama dan terhadap Tuhan-NYA. Beradab adalah terlaksananya semua nnsur manusia yang monopluralis.
c.      Persatuan Indonesia
Konsep persatuan Indonesia dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 dalam alinea kedua an keempat.
d.     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Prinsip kerakyatan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan prinsip demokrasi. Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yaitu paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti tertuang dalam UUD 1945.
e.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan berasal dari kata adil yang artinya antara lain adalah memberikan apa yang menjadi haknya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan kebenaran dan kejujuran. Dalam keadilan terdapat adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bearti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat.

UNSUR-UNSUR IDENTITAS NASIONAL
Menurut Ubaedillah, dkk. (2013: 52), secara umum terdapat beberapa unsur yang menjadi komponen identitas nasional, di antaranya :
1.     Pola perilaku, adalah gambaran pola perilaku yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari, misalnya adat istitadat, budaya, kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari sifat adat isitadat dan budaya.
2.     Lambang-lambang, adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungis negara. Lambang ini biasanya dinyatakan dalam undang-undang, misalnya bendera, bahasa dan lagu kebangsaan.
3.     Alat-alat perlengkapan, adalah sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan yang berupa bangunan, peralatan dan teknologi, misalnya bangunan candi, masjid, gereja, pakaian adat, teknologi bercocok tanam, dan teknologi seperti kapal laut, pesawat terbang, dan lainnya
4.     Tujuan yang ingin dicapai, yang bersumber dari tujuan yang bersifat dinamis dan tidak tetap, seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu. Sebagai sebuah bangsa yang mendiami suatu negara, tujuan bersama bangsa Indonesia telah tetuang dalam pembukaan UUD 1945, yakni kecerdasan dan kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.
Selain itu, terdapat bermacam bentuk identitas nasional Indonesia, menurut Winarno (2009: 45-49), yaitu:
1.     Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia
2.     Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3.     Lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4.     Lambang negara yaitu Garuda Pancasila
5.     Semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6.     Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7.     Konstitusi (hukum dasar) negara yaitu UUD 1945
8.     Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia
9.     Konsepsi Wawasan Nusantara, dan
10.  Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional.
Lebih lanjut Ubaedillah, dkk. (2013: 53) menyatakan bahwa unsur-unsur yang menjadi identitas nasional adalah sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama dan bahasa.
Penjelasan mengenai unsur-unsur identitas nasional tersebut dapat digambarkan berikut:
1.     Menurut sejarah, sebelum menjadi bangsa Indonesia, dua kerajaan Nusantara, Majapahit dan Sriwijaya pernah mengalami kejayaan gemilang. Kebesaran dua kerajaan ini sangat membekas pada semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan perintah sehingga kemerdekaan dapat dideklarasikan oada tanggal 17 Agustus 1945.
2.     Suku bangsa, yaitu golongan sosial khusus yang bersifat sekrptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat berbagai suku bangsa seperti suku Sunda, Jawa, Bengkulu, Batak, Dayak, Kubu, Ambon, Papua, Asmat, Bugis, Dani, Sasak dan sebagainya.
3.     Agama, bangsa Indonesia merupakan negara yang majemuk dari sisi agama, di Indonesia terdapat agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan berbagai aliran kepercayaan.
4.     Kebudayaan, yaitu pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya berupa hasil cipta, rasa, karsa dan karya seperti sistem pengetahuan, sistem religi, kesenian, teknologi, mata pencaharian dan sebagainya.
5.     Bahasa, merupakan sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana interaksi dan komunikasi antarmanusia. Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah seperti bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Minagkabau, Lampung, Bengkulu, dan sebagainya. Pada Sumpah Pemuda 1928, perbedaan bahasa daerah tersebut tidak dipersoalkan dengan menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah satu, bahasa Indonesia.
Keberagaman macam identitas nasional bangsa Indonesia harus disikapi dengan bijaksana, mengingat keragaman ini merupakan karunia Tuhan yang tak terhingga nilainya. Tanpa kemampuan menghargai perbedaan maka tidak menutup kemungkinan bangsa Indonesia suatu saat hanya tinggal kenangan. Bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.128 suku bangsa (MPR, 2013: 197). Perbedaan suku, agama, ras dan golongan dapat memicu konflik horisontal. Adapun penyebab konflik menurut Abidin, dkk. (2014: 275-276) adalah sebagai berikut.
1.     Perbedaan individu, meliputi perbedaan pendirian dan perasaaan
2.     Perbedaan latar belakang kebudayaan, sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda
3.     Perbedaan kepentingan antara individu dengan kelompok
4.     Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Berdasarkan penyebab konflik tersebut, kiranya prlu suatu usaha keras dari setiap individu bangsa Indonesia dalam menyikapi keragaman berbagai aspek sehingga mampu hidup secara berdampingan tanpa kehilangan jatidiri sebagai individu dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari kemajemukan. Seluruh komponen bangsa Indonesia harus berpedoman pada Pancasila, membiasakan bersahabat dan gotong royong, serta mengembangkan sikap saling menghormati dalam kehidupan sehari-hari.
PROSES BERBANGSA DAN BERNEGARA
Keberadaan bangsa Indonesia tidak lahir begitu saja, namun lewat proses panjang dengan berbagai hambatan dan rintangan. Kepribadian, jati diri serta identitas nasioanl Indonesia dapat dilacak dari sejarah terbentuknya bangsa Indonesia dari zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya serta kerajaankerajaan lain sebelum kolonialisme dan imperialisme masuk ke Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sudah ada pada zaman itu, tidak hanya pada era kolonial atau pasca kolonial. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Mohammad Yamin diistilahkan sebagai fase nasionalisme lama (Kaelan, 2007: 52).
Pembentukan nasionalisme modern menurut Yamin dirintis oleh para tokoh pejuang kemerdekaan dimulai dari tahun 1908 berdirinya organisasi pergerakan Budi Utomo, kemudian dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Perjuangan terus bergulir hingga mencapai titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak berdirinya negara Republik Indonesia (Kaelan, 2007: 53). Indonesia adalah negara yang terdiri atas banyak pulau, suku, agama, budaya maupun bahasa, sehingga diperlukan satu pengikat untuk menyatukan keragaman tersebut. Nasionalisme menjadi syarat mutlak bagi pembentukan identitas bangsa.
Peristiwa Proses Berbangsa
Salah satu perkataan Soekarno yang sangat terkenal adalah ‘jas merah’ yang maknanya jangan sampai melupakan sejarah. Sejarah akan membuat seseorang hati-hati dan bijaksana. Orang berati-hati untuk tidak melakukan kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Orang menjadi bijaksana karena mampu membuat perencanaan ke depan dengan seksama. Dengan belajar sejarah kita juga mengerti posisi kita saat ini bahwa ada perjalanan panjang sebelum keberadaan kita sekarang dan mengerti sebenarnya siapa kita sebenarnya, siapa nenek moyang kita, bagaimana karakter mereka, apa yang mereka cita-citakan selama ini. Sejarah adalah ibarat spion kendaraan yang digunakan untuk mengerti keadaan di belakang kita, namun demikian kita tidak boleh terpaku dalam melihat ke belakang. Masa lalu yang tragis bisa jadi mengurangi semangat kita untuk maju. Peristiwa tragis yang pernah dialami oleh bangsa ini adalah penjajahan yang terjadi berabad-abad, sehingga menciptakan watak bangsa yang minder wardeh (kehilangan kepercayaan diri). Peristiwa tersebut hendaknya menjadi pemicu untuk mengejar ketertinggalan dan berusaha lebih maju dari negara yang dulu pernah menjajah kita. Proses berbangsa dapat dilihat dari rangkaian peristiwa berikut:
a.      Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa, bertuliskan “marvuat vanua Sriwijaya siddhayatra subhiksa, yang artinya kurang lebih adalah membentuk negara Sriwijaya yang jaya, adil, makmur, sejahtera dan sentosa. Prasasti ini berada di bukit Siguntang dekat dengan Palembang yang bertarikh syaka 605 atau 683 Masehi. Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh wangsa Syailendra ini merupakan kerajaan maritim yang memiliki kekuatan laut yang handal dan disegani pada zamannya. Bukan hanya kekuatan maritimnya yang terkenal, Sriwijaya juga sudah mengembangkan pendidikan agama dengan didirikannya Universitas Agama Budha yang terkenal di kawasan Asia (Bakry, 2009: 88).
b.     Kerajaan Majapahit (1293-1525). Kalau Sriwijaya sistem pemerintahnnya dikenal dengan sistem ke-datu-an, maka Majapahit dikenal dengan sistem keprabuan. Kerajaan ini berpusat di Jawa Timur di bawah pimpinan dinasti Rajasa, dan raja yang paling terkenal adalah Brawijaya. Majapahit mencapai keemasan pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gadjah Mada yang tekenal dengan sumpah Palapa. Sumpah tersebut dia ucapkan dalam sidang Ratu dan Menteri-menteri di paseban Keprabuan Majapahit pada tahun 1331 yang berbumyi: “Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jikalau seluruh Nusantara takluk di bawah kekuasaan negara, jikalau Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik sudah dikalahkan” (Bakry, 2009: 89).
c.      Berdirinya organisasi massa bernama Budi Utomo oleh Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang menjadi pelopor berdirinya organisasi-organisasi pergerakan nasional yang lain di belakang hari. Di belakang Sutomo ada dr. Wahidin Sudirohusodo yang selalu membangkitkan motivasi dan kesadaran berbangsa terutama kepada para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Budi Utomo adalah gerakan sosio kultural yang merupakan awal pergerakan nasional yang merintis kebangkitan nasional menuju cita-cita Indonesia merdeka (Bakry, 2009: 89)
d.     Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh para pemuda pelopor persatuan bangsa Indonesia dalam Kongres Pemuda di Jakarta pada 28 Oktober 1928.
Peristiwa Proses Bernegara
Proses bernegara merupakan kehendak untuk melepaskan diri dari penjajahan, mengandung upaya memiliki kemerdekaan untuk mengatur negaranya sendiri secara berdaulat tidak dibawah cengkeraman dan kendali bangsa lain. Dua peristiwa penting dalam proses bernegara adalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
a.      Pemerintah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Janji itu disampaikan oleh Perdana menteri Jepang Jenderal Kunaiki Koisu (Pengganti Perdana Menteri Tojo) dalam Sidang Teikuku Gikoi (Parlemen Jepang). Realisasi dari janji itu maka dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 29 April 1945 dan dilantik pada 28 Mei 1945 yang diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat. Peristiwa inilah yang menjadi tonggak pertama proses Indonesia menjadi negara. Pada sidang ini mulai dirumuskan syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan negara yang merdeka (Bakry, 2009: 91).
b.     Pembentukan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) setelah sebelumnya membubarkan BPUPKI pada 9 Agustus 1945. Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno dan wakil ketua adalah Drs. Moh. Hatta. Badan yang mula-mula buatan Jepang untuk memersiapkan kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang takluk pada Sekutu dan setelah diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, maka badan ini mempunyai sifat ‘Badan Nasional’ yang mewakili seluruh bangsa Indonesia. Dengan penyerahan Jepang pada sekutu maka janji Jepang tidak terpenuhi, sehingga bangsa Indonesia dapat memproklamirkan diri menjadi negara yang merdeka.
c.      Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan penetapan Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Peristiwa ini merupakan momentum yang paling penting dan bersejarah karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah menjadi negara yang merdeka.

POLITIK IDENTITAS
Politik identitas adalah nama untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok (Bagir, 2011: 18). Identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa ini, namun justru mulai tampak penguaan identitas-identitas sektarian baik dalam agama, suku, daerah dan lain-lain.
Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan (citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara. Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama, etnis, daerah dan lain-lain (Bagir, 2011: 17).
Pada era reformasi, kebebasan berpikir, berpendapat dan kebebasan lain dibuka. Dalam perkembangannya kebebasan (yang berlebihan) ini telah menghancurkan pondasi dan pilar-pilar yang pernah dibangun oleh pemerintah sebelumnya. Masyarakat tidak lagi kritis dalam melihat apa yang perlu diganti dan apa yang perlu dipertahankan. Ada euphoria untuk mengganti semua. Perkembangan lebih lanjut adalah menguatnya wacana hak asasi manusia dan otonomi daerah yang memberikan warna baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang menunjukkan sisi positif dan negatifnya.
Perjuangkan menuntut hak asasi menguat. Perjuangan tersebut muncul dalam berbagai bidang dengan berbagai permasalahan seperti: kedaerahan, agama dan partai politik. Mereka masing-masing ingin menunjukkan identitasnya, sehingga tampak kesan ada ‘perang’ identitas. Munculnya istilah ‘putra daerah’, organisasi keagamaan baru, lahirnya partai-partai politik yang begitu banyak, kalau tidak hati-hati dapat memunculkan ‘konflik identitas’.
Sebagai negara -bangsa, perbedaan-perbedaan tersebut harus dilihat sebagai realitas yang wajar dan niscaya. Perlu dibangun jembatan-jembatan relasi yang menghubungkan keragaman itu sebagai upaya membangun konsep kesatuan dalam keragaman. Kelahiran Pancasila diniatkan untuk itu yaitu sebagai alat pemersatu. Keragaman adalah mozaik yang mempercantik gambaran tentang Indonesia secara keseluruhan. Idealnya dalam suatu negara-bangsa, semua identitas dari kelompok yang berbeda-beda itu dilampaui, idealitas terpenting adalah identitas nasional (Bagir, 2011: 18).
Politik identitas bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif berarti menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya perbedaan, bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan suatu daerah terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara historis dan logis. Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apabila dilegitimasi oleh negara. Negara bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan kepentingannya serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu harmoni (Bagir, 2011: 20).
Atribut adalah segala sesuatu yang tarseleksi, baik disengaja maupun tidak, yang berguna untuk mengenali indentitas atau jatidiri seseorang atau sesuatu gejala. Nasional“ berasal dari bahasa inggris “National” yang berarti sebagai warga Negara atau kebangsaan. Indentitas nasional berasal dari kata “national indentity” yang diartikan sebagai kepribadian nasional atau jatidiri nasional.
Indentitas nasional pada hakikatnya merupakan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan adanya ciri-ciri khas tersebut maka suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain. Dalam proses pembentukan indentitas nasional bukan sesuatu yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Indentitas juga memiliki ciri-ciri khas yang menunjukan suatu keunikannya serta dapat membdkan dengan hal-hal lainnya. Eksistensi manusia selain dipegaruhi keadaan juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya atau pedoman hidupnya. Pada akhirnya yang menentukan indentitas manusia baik secara individu maupun kolektif.
DAFTAR PUSTAKA
-        BUKU & MODUL
1.     Damanhuri, M,Pd. 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Serang, Untirta Press
2.     Muhammad Erwin, S.H., M.Hum. 2013, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Padang, PT. Refika Aditama.
3.     Djoko Santoso, 2012, Buku Modul Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan.
4.     Dikdik Baehaqi Arif, 2012, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan.
-        WEBSITE

Source download:
yang diposting oleh Muhammad Amir Baihaqi

Share:

15 Mar 2018

Materi: Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

Seiring berjalannya waktu dari perkembangan jaman ke jaman, mata pelajaran pendidikan yang menjadi bahan dasar seseorang dalam pergaulan, bermasyarakat dan bernegara haruslah menjadi acuan/prinsip, yang sangat masif sekali contohnya di jaman ini, saat negara sedang berkembang banyak bermunculan sekelompok orang yang tidak memahami dasar negara, yaitu PANCASILA yang menjadi satu mata pelajaran, baik itu di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Menengah atauppun kejuruan,


Berikut ini sedikit ulasan sejarah mengenai mata pelajaran PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN yang Ditulis oleh endryib pada Maret 7, 2011 in pendidikan kewarganegaraan, Sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan negara. Secara historis, epistemologis dan pedagogis.
Pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran Civics atau kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7).
Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran.
Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia.
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya .
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari.
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut :
(a)    Kewarganegaraan (1956)
(b)   Civics (1959)
(c)    Kewarganegaraan (1962)
(d)   Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e)    Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f)    Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)
(g)   Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah  tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.

Share:
Copyright © kuaink | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com